Disebutkan dalam kitab Tanbihul Ghofilin bahwa sebaik-baik manusia adalah yang memiliki lima hal.
Pertama, orang yang beribadah kepada Allah secara benar. Manusia dan jin, bahkan semesta raya ini diciptakan hanyalah untuk beribadah kepada-Nya. Ibadah secara bahasa berarti penghambaan. Menghamba tentu akan memberikan yang terbaik bagi yang disembahnya.
Kedua, orang yang hidupnya bermanfaat bagi sesama makhluk. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
خَيْرُ الناسِ أَنْفَعُهُمْ لِلناسِ
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia” (HR. Ahmad).
Kemanfaatan seseorang disesuaikan dengan kemampuannya. Yang memiliki ilmu maka kebermanfaatannya bisa dilakukan dengan ilmunya. Yang memiliki harta memberikan kemanfaatannya dengan hartanya. Dan yang memiliki tenaga maka dengan tenaganya.
Ketiga, orang yang tidak menggangu orang lain. Orang yang memiliki agama tentu tidak akan mengganggu orang lain. Karena dimensi agama itu bukan semata-mata terhubungnya seorang manusia kepada tuhannya, tetapi juga hubungan manusia antar manusia, dan hubungan dengan lingkungannya.
Terganggunya seseorang oleh orang lain bukan secara fisik, tetapi bisa juga karena ucapannya. Di era media sosial potensi seseorang untuk mengganggu tau menyakiti orang lain luas. Potensi menyakiti orang lain tidak terbatas pada lisan dan tindakan secara fisik pada orang lain, tetapi bisa juga hate speech melalui media sosial. Fitnah, ujaran kebencian, dan berbagai bentuk kebohongan di dunia maya memiliki potensi yang sama besarnya terganggunya seseorang oleh orang lain. Rasulullah saw. pernah berpesan kepada umatnya,
Dari Abdullah bin Amr bin Al-Aas Radhiyallahu ‘anhum, Nabi saw. Bersabda : “Seorang Muslim adalah orang yang orang-orang islam (lainnya) selamat dari lisan (ucapan) dan tangannya” (HR. Muttafaq Alaih)
Keempat, tidak tamak akan kepemilikan orang lain. Ketamakan berangkat dari tidak mensyukuri yang dipunyainya. Orang yang bersyukur akan senantiasa menerima apa yang diterimanya sebagai pemberian dari Allah swt. Orang yang memiliki keimanan yang baik akan mudah bersyukur dan dapat dengan mudah legowo atas apa yang dimiliki oleh orang lain. Sebab, orang yang beriman sadar, bahwa pada hakikatnya apapun yang dimiliki oleh setiap orang adalah milik Allah.
Harta yang dimiliki seseorang tidak lepas dari qadha dan qodar-Nya. Di sinilah ketamakan akan bisa dengan mudah dihindari jika semua orang menyadari segala bentuk kepemilikan di dunia adalah pemberian dari Allah. Dengan begitu seseorang tidak akan iri, dengki dan tamak akan kepemilikan orang lain.
Kelima, mempersiapkan untuk kematiannya.
Kematian adalah suatu kepastian bagi siapapun yang bernyawa.
Kullu nafsin dzaiqotul maut…
Setiap yang bernyawa akan merasakan kematian. (QS: 21. 128)
Kematian bukan akhir dari segalanya. Kematian justeru awal dari kehidupan yang kekal di akhirat. Maka keimanan dan amal baik adalah sebagai bekal kehidupan kekal nantinya. Dibutuhkan kecerdasan dalam menata kehidupan di dunia, agar kelak di akhirat mendapatkan penghidupan yang lebih baik dari kehidupan dunia yang bersifat sementara ini. Karenanya, dunia adalah ladang akhirat, addunya mazro’atul akhirati, kata Nabi saw.
Hasil panen yang baik bermula dari ladang yang subur, tanamannya terpelihara dengan baik, dan terbebas dari berbagai hama-hama yang mengganggu. Demikian halnya dengan amal kebaikan kita di dunia. Agar amalan kita menjelma sebagai panenan yang layak menjadi bekal kita di akhirat maka tanaman amal kita haruslah dikelola dengan sedemikian rupa agar hasilnya baik. Kuasailah ilmunya agar proses penanamannya dijamin benar. Bebaskan dari amalan-amalan kita dari hama-hama riya’, pupuk dan siramilah dengan air keikhlasan.